Jakarta, 21 Agustus 2021 – Pertemuan AMEC Virtual Global Summit 2021 yang diselenggarakan oleh The International Association for Measurement and Evaluation of Communication (AMEC) pada 26 – 27 Mei 2021, menghasilkan serangkaian tools baru yang lebih menekankan pada integrated evaluation framework for planning.
Menurut Manurut Fardila Astari, Communications Director Rajawali Foundation, dalam kegiatan yang bertajuk “Communication Accountability: Planning, Purpose and Proof” tersebut, AMEC mengeluarkan planning worksheet terbaru dengan insight planning, audiens, serta objektivitas yang lebih mendalam dari sebelumnya. “AMEC sangat passionate dengan yang namanya perencanaan,” ujar perempuan yang mengantongi sertifikat AMEC itu.
Fardila lantas menguraikan hasilnya di hadapan peserta “The 29th PR INDONESIA Workshop Series: How to Measure & Evaluate Your Communications Program Effectively: Based on AMEC Framework”, Kamis (19/8/2021). Berikut penuturannya.
PLANNING
Planning worksheet AMEC diawali dari impact (dampak) yang diharapkan oleh organisasi. Khususnya, hasil yang diharapkan oleh organisasi/perusahaan melalui komunikasi yang direncanakan oleh PR. Contoh, reputasi, hubungan baik, kepatuhan, perubahan organisasi, atau perubahan sosial/publik. Matriks dan capaian yang digunakan bisa berupa dukungan publik, mencapai target, peningkatan penjualan, peningkatan donasi, penghematan biaya, retensi staf, retensi/loyalitas pelanggan, maupun peningkatan kualitas hidup/kesejahteraan.
Sementara untuk mengukur repons audiens dan efek dari sisi outcomes, lebih menekankan soal perasaan dan efek yang diharapkan audiens dari perencanaan komunikasi yang sudah dibuat. Misalnya, menambah pengetahuan, mengubah perilaku, kepuasan, kepercayaan, preferensi/pilihan, niat, atau teradvokasi. Untuk matriks dan capaian yang digunakan tersebut bisa dari segi penerimaan pesan, tingkat kepercayaan, pernyataan dukungan atau niat, prospek, pendaftaran, preferensi merek, uji coba, bergabung, hingga penegasan kembali.
Sedangkan dari sisi outtakes, lebih menyoroti tentang apa yang akan audiens pikirkan serta lakukan akibat dari implementasi perencanaan komunikasi. Sebut saja, atensi, awareness, memahami, merasa tertarik/menyukai, engagement, berpartisipasi, atau mempertimbangkan. Mengukurnya bisa dengan melihat pengunjung unik, views, respons (likes, tags, shares, retweet), kunjungan kembali, mengingat, komentar positif, repons positif di dalam survei, subscribers, atau mengajukan pertanyaan.
Nah, AMEC kali ini menekankan pada isu yang paling penting dalam suatu kampanye/strategi komunikasi. “Jadi, apapun yang kita buat itu selalu berbasiskan pada masalah. Karena komunikasi didorong untuk memecahkan masalah,” ujar anggota BPP PERHUMAS itu.
Selanjutnya, menetapkan target audiens. Kuncinya, menentukan target audiens secara spesifik dan lebih dari sekadar demografi. Dalam hal ini kita tidak hanya menentukan berdasarkan sosial ekonomi status (SES). Lebih dari itu, PR harus menggali lebih dalam terkait masalah apa saja yang tengah dihadapi oleh mereka. Demikian halnya dari sisi insight. PR harus mampu mengerti kenapa memilih target audiens tersebut. “Apa yang mereka katakan tentang organisasi kita. Insight apa yang mereka berikan,” katanya.
SMART(ER)
Lainnya adalah tentang objektif dan mengukur aktivitas menggunakan SMART(ER) objective. Menurut Dila, sapaan karibnya, konsep baru ini AMEC dibuat lebih spesifik. Mulai dari menentukan SMART dari sisi output, outtakes, outcome, hingga impact. Serta, memilih target audiens, menjelaskan seberapa banyak matriks yang harus berubah, hingga menentukan jangka waktu dalam mencapai tujuan. “Jadi, tidak hanya bicara SMART objective, melainkan mulai mengerucut kepada output, outtakes, outcome, dan impact,” katanya.
Adapun upaya untuk membangun aktivitas media atau yang kita kenal dengan istilah paid, earned, shared, dan owned (PESO) menjadi sangat penting. Sebab, menurut Gini Dietrich, pelopor strategi model PESO, sudah terlalu lama PR identik dengan hubungan media (earned). Padahal realitanya hal tersebut hanya satu dari sekian banyak taktik PR profesional yang saat ini sudah sangat luas dan berkembang.
Untuk itu, Dila menganjurkan agar PR lebih banyak menggunakan earned dan shared daripada paid. Alasannya, earned media cenderung memiliki kepercayaan tinggi, skala rendah. Namun, membutuhkan sedikit biaya. Meskipun, tidak dapat diprediksi. Seperti halnya hubungan dengan media arus utama, influencer, investor, penulis blog, membangun tautan (link building), hingga dari mulut ke mulut (word of mouth).
Sementara shared media, kata Dila, memiliki tingkat kepercayaan tinggi, skala rendah, berbiaya rendah, serta tidak dapat diprediksi. Misalnya, sosial organik, ulasan, forum sosial, pemantauan sosial (media monitoring), sosial pribadi, hingga situs berbagai media.
Kepada praktisi PR, Dila menekankan beberapa hal. Pertama, titik tumpu dari evaluasi adalah menentukan tujuan (setting objective). Saat menentukan tujuan harus jelas. Kedua, berbasis riset sebagai garis dasar. Ketiga, proses dan dampak. Organisasi yang belajar adalah organisasi yang bisa melihat perkembangannya dari waktu ke waktu sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Keempat, menetapkan garis dasar. Kelima, melakukan benchmarking. Keenam, dilakukan secara kooperatif. Ketujuh, jika PR ingin melompat lebih tinggi, maka harus mau belajar hal-hal sulit agar terlatih ketika dia jatuh dan bangun.
Sumber: prindonesia.co