Suasana semakin memanas menjelang pemilu di Indonesia, saat agenda lima tahunan sebagai negara demokrasi kita tinggal enam bulan lagi. Para elit politik telah membanjiri linimasa pemberitaan dan media sosial dengan argumentasi dan pokok pikiran mereka. Seperti sebuah pertunjukan besar, beradu narasi menjadi hal yang biasa terjadi menjelang musim pemilu.
Terkait dengan hal ini, kita dapat mengingat sosok Cicero, filsuf Romawi yang terkenal dengan seni persuasi lisan. Kemampuannya berbicara di depan umum berhasil mendapatkan simpati publik dan menjadikannya seorang konsul pada masanya. Namun, perlu diingat bahwa zaman Cicero mengandalkan teknik propaganda yang sangat konvensional. Berbeda dengan sekarang, di mana teknologi mengambil peranan penting dalam menyampaikan propaganda dan narasi kepada para konstituen.
Jika kita menggali lebih dalam, teknologi memiliki dampak yang kompleks. Secara positif, teknologi membawa efisiensi dan memperluas jangkauan pesan yang disampaikan. Namun, di sisi lain, pemanfaatan teknologi juga mendorong para kontestan politik untuk berlaku lebih kreatif dalam mengeksplorasi hal-hal baru. Namun, tingkat literasi yang rendah di Indonesia menimbulkan bahaya, di mana kreativitas tersebut bisa berbalik menjadi ancaman bagi aktivitas politik kita.
Sejarah pemilu tahun 2019 menjadi contoh yang patut diingat. Media sosial dieksploitasi untuk menciptakan narasi keliru yang berujung pada polarisasi. Kita semua sepakat bahwa polarisasi bukanlah sesuatu yang baik untuk diwariskan dalam sejarah pemilu dalam negeri. Namun, ancaman polarisasi tetap menjadi momok yang mengintai di tahun-tahun mendatang. Terlebih lagi, perkembangan kecerdasan buatan generatif (Generative AI) semakin meluas dalam penyediaan dan penggunaannya.
Kekhawatiran terbesar adalah perkembangan AI yang tak terkendali tanpa diiringi oleh diskusi dan diskursus yang mendalam. Hal ini dapat menyebabkan teknologi tersebut menyesatkan masyarakat. Bayangkan saja, dengan sekali perintah sederhana, AI dapat menciptakan teks pidato, konten fotografi, bahkan menirukan suara seseorang.
Konten semacam itu kemudian dapat dengan mudah menyebar dan diterima mentah-mentah oleh mereka yang memiliki tingkat literasi rendah. Menghadapi masalah ini, setidaknya ada tiga poin yang harus kita perhatikan.
Pertama, Badan Pengawas Pemilu harus melakukan pengawasan ketat terhadap pemanfaatan teknologi dalam berkampanye. Peranan Badan Pengawas Pemilu diperlukan dalam mengomunikasikan pentingnya etika dan mengedukasi para kontestan politik dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Penting untuk menekankan penggunaan media sosial dengan mematuhi etika yang berlaku agar tidak disalahgunakan. Selain itu, implementasi peraturan tentang tata cara dan etika berkampanye harus sungguh-sungguh diperhatikan oleh semua kalangan, mulai dari Badan Pengawas Pemilu, Parta Politik, hingga masyarakat luas.
Kedua, perusahaan pengelola platform media sosial, seperti Facebook dan TikTok, harus memperkuat fungsi moderasi yang dilakukan oleh manusia. Para moderator ini memiliki peran esensial dalam mengidentifikasi dan mengatasi konten yang bersifat provokatif atau salah informasi. Peningkatan kualitas moderasi harus didukung dengan perekrutan tim yang kompeten dan peningkatan pelatihan bagi mereka.
Ketiga, pentingnya sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan media
sosial dengan bijak. Di sinilah peran profesi Humas dan para profesional
komunikasi di instansi pemerintah dan swasta menjadi garda depan.
Melalui kampanye penyadaran dan pendidikan, masyarakat dapat mempelajari keterampilan dalam menyaring informasi,
memahami konteks, dan menghargai keragaman pendapat. Humas memiliki tanggung
jawab untuk menyampaikan informasi yang jelas, akurat, dan berimbang kepada
masyarakat.
Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini, dampak negatif dari penggunaan teknologi dalam pemilu dapat ditekan. Kesadaran akan pentingnya berpikir kritis dan literasi digital harus menjadi bagian integral dari proses demokrasi kita. Teknologi seharusnya menjadi alat yang memperkaya diskusi dan partisipasi masyarakat, bukan menjadi sumber polarisasi dan manipulasi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, momentum pemilu adalah instrumen penting dalam menjaga harkat dan martabat bangsa. Mari tingkatkan kesadaran kita akan ancaman polarisasi yang mengintai menjelang pemilu 2024. Dengan itu, kita bisa bersama-sama menjaga integritas demokrasi dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Peran humas dan fungsi moderasi dalam industri media sosial akan menjadi penentu penting dalam menjaga tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dan menghadapi tantangan teknologi di era digital ini.
Opini : Muhammad Rivan Aulia Tanjung, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Muda, BPP Perhumas