Sejak COVID-19, segala sesuatunya sudah tidak akan pernah sama lagi, dan dengan dunia yang perlahan-lahan beradaptasi dengan keadaan New Normal saat ini, orang-orang juga menciptakan New Normal untuk diri mereka sendiri. Tetapi jika kita percaya akan adanya satu “normal” untuk semua orang, maka kita tidak mempertimbangkan pandangan yang lebih luas.
Secara psikologis, ada perang batin yang mendesak kita semua pada masa New Normal ini, dimana kebiasaan baru serta perilaku juga ikut berubah. Jadi bagimana kah agensi dan brands mengerti keadaan ini dalam pembuatan kampanyenya?
Kita semua percaya bahwa semua orang memiliki sisi emosional, tetapi menganggap manusia sebagai ‘mesin perasaan’ saja, itu juga tidak sepenuhnya benar. Salah satu fakta populer yang digunakan untuk menggambarkan kita sebagai manusia, adalah jika kita ingin mengubah apa yang dilakukan seseorang, kita perlu mengubah apa yang mereka rasakan dan bukan hanya apa yang mereka pikirkan. Antonio Damasio, seorang profesor Neuroscience terkenal, mengatakan bahwa manusia sebenarnya merupakan “mesin berperasaan” yang bisa berpikir.
Dengan pemahaman ini, peluang dan tantangan baru untuk para brands terbuka. New Normal setelah COVID-19 membuka kebutuhan yang mendesak tentang cara baru untuk menjangkau konsumen yang sudah membentuk ‘New Normal’ mereka sendiri.
Banyak orang percaya dan mengatakan kalau agensi PR akan muncul lebih kuat dalam keadaan saat ini dan akan memiliki lebih banyak nilai tambah selama masa COVID-19. Dimana saat brands membatalkan kampanye iklan, aktivasi offline dan produksi iklan televisi, banyak dari mereka akan beralih ke PR sebagai salah satu pendekatan dan cara penghematan biaya untuk membangun sebuah brand, berinteraksi dengan konsumen, dan menjaga reputasi perusahaan mereka.
Kesempatan dan ini juga merupakan tekanan bagi agensi PR untuk lebih kreatif dalam memberikan ide dan strategi dari yang sebelumnya akan lebih tinggi. Selain itu, agency PR juga perlu bergerak lebih cepat dan lebih efisien termasuk dalam memakai digital platform secara keseluruhan.
Di sinilah cara-cara baru untuk mendapatkan data konsumen dan mengumpulkan insight pada setiap awal kampanye untuk mengerti dasar perilaku manusia menjadi essensial (Behaviour Science).
Sampai saat ini pada umumnya kebanyakan orang masih memaparkan data secara mentah dan belum menerjemahkan data tersebut menjadi sebuah sentiment yang digunakan untuk ‘menceritakan’ data tersebut secara emosional.
Dengan akses kepada data yang lebih baik, kita harus menjadi lebih mumpuni dalam menggunakannya untuk membuat alur yang lebih akurat dan dipercaya, yang nantinya dapat mempengaruhi dan menyentuh emosi dan perasaan para target konsumen.
Setiap data konsumen atau stakeholder merepresentasikan sebuah cerita yang berbeda. Data merupakan sebuah alat penting dalam proses pengumpulan insights yang akan diolah menjadi ide kreatif untuk diceritakan.
Behaviour Science pada dasarnya adalah ilmu yang mendalami kebiasaan konsumen, dimana kita menganalisa data yang kita dapatkan. Insights dari ilmu behavior science dapat menggambarkan bagaimana cara manusia berfikir dan berperilaku sehari-hari.
Setelah analisa atau insight dari tingkah laku konsumen kita dapatkan, kita bisa mengkomunikasikan sebuah pesan didalam kampanye dengan strategy yang tepat, menyentuh dan sesuai dengan tingkah laku dan kebiasaan dari target konsumen tersebut.
Manusia sering kali memiliki perilaku yang tidak rasional, seperti pada contoh bagaimana orang tidak selalu memilih produk yang lebih baik atau murah atau bisa juga bagaimana karyawan mungkin tidak memilih bekerja dengan cara yang lebih efektif. Contoh lainnya, tidak semua dari kita menabung, berolahraga ataupun makan sehat walau kita tahu itu baik untuk hidup kita.
Seringkali terdapat kesenjangan antara seseorang yang memiliki niat baik untuk mengubah perilakunya, tetapi tindakannya belum berhasil. Misalnya, mungkin Anda berniat untuk mencuci tangan selama 20 detik, karena Anda mengetahui bahwa ini dapat membantu menghentikan penyebaran virus COVID-19. Namun pada kenyataannya, pada saat berada di wastafel, Anda tidak selalu melakukannya. Jika demikian, bagaimana perusahaan sabun dapat menemukan peluang dan membuat strategi komunikasinya?
Direktur H+K Strategies bagian Behavioral Science, Dan Berry, mengatakan bahwa perilaku manusia didasari oleh naluri dan intuisi. Keputusan yang terkadang terkesan diambil secara rasional pun sering kali diambil secara kontekstual. Sebagai contoh dengan menyikat gigi: Anda tidak secara sadar ‘berpikir’ untuk melakukannya. Ini ditandai saat bangun dan sebelum tidur, diulangi dua kali sehari, dan oleh karena itu menjadi sebuah hal yang otomatis (kebiasaan). Setelah suatu perilaku menjadi sebuah kebiasaan, kemungkinan perilaku tersebut akan bertahan. Sekali lagi, pertanyaan yang sama, dengan insight ini, bagaimana brand pasta gigi terhubung dengan konsumen dan mendorong perilaku yang benar?
Satu fakta menarik yang terkenal mengenai perilaku manusia adalah apa yang disebut dengan IKEA Effect, di mana penelitian menunjukan bahwa orang yang lebih terlibat dengan desain atau kreasi produk (personalized product) akan lebih menghargai hal yang mereka beli. Karena personalized product membuat orang menjadi lebih berkomitmen untuk mengeluarkan uang lebih karena merupakan hasil dari ide dan kreativitas mereka sendiri.
Semua contoh diatas menandakan sebuah komunikasi yang didasari atas ketertarikan terhadap cara pikir rasional seseorang tidaklah cukup. Memberikan data mentah tanpa memperhitungkan perilaku manusia juga tidak akan cukup untuk menyentuh perasaan konsumen.
Dalam kesimpulan, apa arti semua ini bagi agensi PR?
Menceritakan sebuah kisah yang didasari data merupakan sebuah kunci. Dalam bertransformasi agensi PR harus berinvestasi lebih lebar diluar para penulis dan editor. Agensi PR harus menginvestasi di data dan analytics. Mereka juga harus menggunakan pengetahuan dari behavior science untuk menghasilkan kualitas komunikasi pendekatan yang lebih baik.
COVID-19 dan dunia setelah pandemi menandakan adanya kebutuhan untuk para brands agar dapat menghasilkan story-telling yang tidak konvesional lagi karena pengetahuan umum dan awareness akan sebuah brand atau produk sudah tidak cukup.
Story-telling yang didasari oleh intuisi dan perasaan saja sekarang sudah tidak cukup. Penggunaan data untuk memberikan pengaruh lebih terhadap stakeholders dan mendorong perubahan perilaku dan kebiasaan merupakan kunci pokok keberhasilan dari story telling setiap brand.
Ditulis oleh Marianne Admardatine, CEO dari H+K Strategies Indonesia