News

Mengapa Pariwisata Indonesia Perlu PR!

Jakarta, 13 April 2021 – Saya pernah membaca cerita ini. Jose adalah pemilik sebuah restoran yang cukup terkenal di kota Madrid, Spanyol. Namun dia tidak berpendidikan. Suatu hari, putranya yang baru lulus dari universitas ternama kembali dan bergabung dengan bisnis keluarga ini.

Mulai bekerja, putranya berkata, “mengapa ayah habiskan begitu banyak uang untuk marketing restoran ini? Apakah Ayah tidak tahu krisis ekonomi sedang terjadi? Jangan buang uang!”

“Juga, mengapa kita habiskan dana untuk melatih para pelayan tentang etiket dan cara melayani customer? Ini benar-benar buang uang!”

Sang anak bahkan minta agar berhenti memasukkan ingredients berkualitas ke dalam makanan karena harganya mahal dan merugikan margin. “Selama resesi, setiap uang harus dihemat. Turunkan kualitas bahan. Maksimalkan margin profit kita!” tegasnya lagi.

Jose percaya putranya yang berpendidikan tinggi ini pastilah benar. Dia berhenti memasarkan restorannya. Dia turunkan kualitas bahan makanan dan batalkan pelatihan para pelayan.

Yang terjadi selanjutnya, tamu yang datang berkurang bahkan tidak aware adanya restoran ini. Mereka mulai komplain dari kualitas makanan yang turun hingga pelayan tidak sopan seperti sebelumnya. Positive word of mouth dari customer-pun hilang. Walhasil, penghasilannya turun drastis.

Anda tahu apa yang Jose katakan? “Kamu benar anakku! Memang ada krisis ekonomi besar yang sedang terjadi! Terima kasih telah memberikan saran ini. Jika bukan karena kamu, pasti kita akan bangkrut!”

Ironis? Krisis Ekonomi adalah hal yang nyata tetapi respons kita terhadap krisis idealnya tidak seperti itu.

Pandemi telah membuat aktivitas perekonomian dunia termasuk Indonesia jalan di tempat. Banyak sektor bisnis mati suri, salah satunya pariwisata. Padahal pada tahun 2019, sektor pariwisata berkontribusi 4,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang harus rela industri pariwisatanya terimbas. Thailand, Vietnam, Filipina, Jepang, China, hingga negara-negara di Eropa juga merasakan hal yang sama. Menurut prediksi World Tourism Organization (UNWTO), industri pariwisata dunia kehilangan pendapatan sebanyak US$1,3 triliun pada tahun 2020.

Pertanyaan tentu muncul, kapan recovery akan terjadi? Dalam ilmu ekonomi ada yang menjelaskan bahwa recovery economy itu ada yang berbentuk U Shape Economy, L Shape, atau W Shape; kini muncul yang namanya K Shape Economy. Menurut teori ini, industri pasca pandemi akan bergerak sesuai huruf K –yang mana kakinya ke atas dan bawah. Kaki K ke atas menggambarkan kondisi sektor bisnis yang membaik seiring pulihnya ekonomi. Misalnya, sektor teknologi, retail e-commerce, layanan software, dan lainnya. Sedangkan kaki K ke bawah menggambarkan kondisi sektor bisnis yang butuh dukungan penuh, meski ekonomi perlahan membaik. Sektor itu antara lain pariwisata, hiburan, food services dan hospitality.

Di balik ancaman pasti ada peluang. Kita optimis dunia pariwisata akan bangkit! Mengapa? Jika mengacu pada teori hirarki Abraham Maslow bisa disebutkan bahwa motivasi untuk berwisata atau liburan sudah menjadi salah satu bagian dari basic needs, psychological needs hingga self-fulfillment needs dari manusia itu sendiri. Artinya demands itu pasti akan ada terus!

Presiden Jokowi mengatakan, pandemi justru menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pariwisata. “Menurut saya, penurunan (wisatawan) ini justru menjadi momentum kita untuk konsolidasi, momentum kita untuk transformasi di bidang pariwisata dan juga di bidang penerbangan melalui penataan yang lebih baik mengenai rute penerbangan,” katanya.

Sekalipun belum pulih, inilah momentum turisme Indonesia untuk berbenah, mempersiapkan, dan mengambil ancang-ancang menyambut dibukanya kembali sektor pariwisata ini.

Dari kacamata PR, optimisme ini terbuka lebar selama kita jeli melihat tren pasar industri ini, misalnya saja. Pertama, exponomy atau experience economy. Jika kita amati, masyarakat Jakarta sering bepergian tidak jauh dari kotanya. Sebut saja hiking di daerah Sentul, mencari air terjun di Puncak, atau wisata lain berbasis nature. Intinya liburan ke alam terbuka, sebagai upaya pencegahan pandemi, tidak meninggalkan arti sebuah pengalaman, namun dalam lokasi yang tidak terlalu jauh. Yang memiliki dana lebih, mereka akan berlibur ke lokasi wisata yang juga berbasis nature dari Bali, Danau Toba, Aceh, Mandalika hingga Labuan Bajo.

Kedua, Unique Selling Proposition (USP). Di sini, pemerintah daerah atau pemilik destinasi harus memiliki diferensiasi dari spot wisata mereka. Promosi USP harus berjalan bukan ketika masa libur tiba, melainkan dari sekarang. Tujuannya agar destinasi Anda bisa menjadi top of mind dan masuk bucket lists travel! Singapura misalnya, memperkenalkan tagline “Experience Singapore now. Travel later” dan agresif berkampanye menghadirkan inovasi baru di sana. Badan Turisme Thailand (TAT) misalnya, mengampanyekan TVC “Miss you” yang cukup menarik.

Ketiga, Sustainability Tourism. UNWTO mendefinisikan keberlanjutan dalam pariwisata merujuk pada lingkungan, ekonomi, sosial budaya dari pengembangan pariwisata, dan keseimbangan menurut 3P, yaitu People, Planet, dan Prosperity. Jangan sampai gairah pariwisata justru menyingkirkan masyarakat, lingkungan, dan kemakmuran dari sebuah destinasi. Sektor pariwisata harus didesain bukan hanya untuk menarik para wisatawan, tapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat yang ada di dalamnya, tidak menghilangkan kultur yang ada, tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, dan memberikan kemakmuran. Satu hal yang pasti, sektor pariwisata pasca pandemi akan menjadikan aspek health, safety, security, dan environment (HSSE) sebagai hal prioritas.

Keempat, Tourism Planning. Seiring berkembangnya industri pariwisata, semakin tinggi pula tuntutan wisatawan. Mulai dari fasilitas publik seperti toilet, jaringan internet, spot media sosial, akses, atraksi, dan masih banyak lagi. Pertanyaan yang perlu diajukan ke pemda atau pemilik destinasi wisata adalah bagaimana kesiapannya saat ini? Pete Blackshaw dari Nielsen Online menjelaskan bahwa satu pengalaman positif akan hanya di-share kepada tiga orang saja. Namun, bad experience akan di-share ke 3.000 orang. Jangan sampai keindahan sebuah destinasi hancur karena tidak adanya kesiapan dari pemerintah setempat atau pemilik destinasi. Inilah saatnya kita untuk berbenah.

Bagaimana menggabungkan keempat tren ini? Robert McKee, penulis buku Storynomics: Story-Driven Marketing in the Post Advertising World menjelaskan saat ini kita perlu menulis cerita yang kreatif, tidak cukup hanya berbasis data. Storynomic dalam turisme adalah cerita, konten narasi kreatif dengan destinasi budaya setempat yang memiliki nilai ekonomi hingga menjadi experience menarik bagi turis dan masyarakat.

Intinya, storynomic dan creative stories sell! Dan dititik inilah mengapa turisme Indonesia membutuhkan peran fungsi strategis PR! Bukan sebatas seremoni, namun PR yang strategis. Dari creative campaign hingga sosialisasi, dari amplifikasi hingga digitalisasi narasi, dari advokasi via influencer sehingga experience economy, dan yang lebih penting lagi, PR yang bisa menguantifikasi suksesnya sebuah kampanye.

Kita optimistis pariwisata Indonesia akan segera bangkit! Dan, sebagai Humas Indonesia, sudah waktunya kita men-PR-kan keindahan negeri sendiri. Indonesia adalah rumah kita! Kalau bukan kita, siapa lagi? #IndonesiaBicaraBaik.

Sumber: theiconomics.com