ADA berita baik. Indonesia akan menjadi salah satu raksasa perekonomian dunia pada 2030. Anda memang tidak salah dengar. Konsultan global dunia Mckinsey memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan menjadi yang terbesar ke-7 di 2030. Bahkan, Pricewaterhousecoopers atau PWC memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan menjadi terbesar kelima pada tahun yang sama. Artinya dalam kurun 14 tahun lagi, Indonesia akan menjadi global players.
Yang terakhir, majalah The Economist dalam edisi Maret 2016 hadir dengan judul yang cukup provokatif “Tiger, tiger, almost bright!” menuliskan secara implisit opportunities yang sangat besar bagi negara kita.
Sebagai Bangsa Indonesia, semua proyeksi ini harus kita sambut dengan antusiasme. Mengapa? Karena Indonesia akan bersanding dengan negara-negara raksasa yang kerap kita dengar namanya, mulai dari Amerika Serikat, Jerman, Jepang, China, Prancis, Rusia dan lainnya.
Dalam perspektif kehumasan (public relations), tentu hal ini perlu disikapi dengan optimisme. Artinya, bagaimana andil peran praktisi humas Indonesia untuk segera memberikan kontribusi riil dan strategis dalam pencapain visi dan realisasi Indonesia 2030 ini.
Dalam sambutan pada pembukaan Konvensi Nasional Humas November 2015 di Istana Negara oleh Perhimpunan Humas Indonesia (Perhumas), Presiden Joko Widodo telah menempatkan pentingnya trust dan reputasi sebagai salah satu indikator sukses. Artinya, jika negara kita ini adalah sebuah brand, maka merek Indonesia ini harus meraih trust dari komunitas global.
Urgensi ini terlihat dari pernyataan Presiden lagi dalam pertemuan Humas Pemerintah pada Februari 2016. Presiden Jokowi meminta praktisi humas untuk membangun persepsi Indonesia dan dibandingkan dengan dua negara yaitu Amerika Serikat dan India. Humas diminta untuk menciptakan citra yang baru bagi Indonesia dalam konteks global. Jika image dan persepsi ini positif, beliau percaya akan berdampak terhadap peningkatan iklim investasi serta jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia, sama seperti di AS dan India.
Mengapa Presiden fokuskan contoh pada humas kedua negara ini? Sebagai perbandingan, harus diakui masih tantangan domestik Indonesia di sana-sini. Wajah media tradisional atau online selalu menghiasi perihal kegaduhan politik antara eksekutif dan legislatif, ekonomi, korupsi, sosial, lingkungan hidup, sehingga bisa jadi persepsi tentang Indonesia terlihat rentan. Namun, bukankah kegaduhan seperti itu memang dialami oleh hampir semua negara di dunia ini?
Di sini peran humas kedua negara itu–AS dan India—menjadi menarik kita amati. Sebagai contoh, istilah too big to fail kerap melekat pada AS. Dengan PDB terbesar di dunia, atau setara US$17,34 triliun (2014), bukan berarti AS terbebas dari segala problem. Baik kegaduhan politik atau masalah rasialisme masih terjadi.
Angka pengangguran yang masih bertengger di angka 5% pada kuartal pertama 2016 ini. Bahkan, perekonomian mereka hanya tumbuh di bawah angka 2% selama tujuh tahun terakhir. Intinya, meski dihajar oleh krisis ekonomi berulang kali, AS tetap dipersepsikan sebagai super power. Apakah AS menjadi negara yang terbebas dari berbagai masalah dan isu? Tentu saja tidak.
Mereka memang tidak menutupi keburukan negara mereka, tetapi tidak segan membicarakan hal positif seputar negaranya kepada khalayak lain. Ada aroma tingginya nasionalisme dengan frasa yang kerap mereka katakan, “I’m proud to be an American!”
Begitu pula India. Negara ini diproyeksikan sebagai salah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar. Diaspora India diakui oleh banyak negara termasuk Indonesia. Kegigihan mereka, etos kerja keras, serta kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni sangatlah melekat pada warga India.
Namun, jika Anda berkunjung ke India, kondisi negara itu tidaklah baik sepenuhnya. Tingkat pengangguran, angka kemiskinan dan kesenjangan masih sangat tinggi. Namun, dari beberapa kolega India yang saya temui, mereka sangat bangga dengan negaranya. Mereka tidak ragu untuk menjadi humas (PR) dari negaranya. Sehingga, image India pun terbentuk dengan baik di dunia internasional.
Esensinya, sebagai humas, kita pun harus belajar dari program kehumasan AS dan India. Bagaimana mereka mampu menyebarkan success stories seputar negaranya sehingga tercipta gambaran dan persepsi nasionalisme yang tinggi hingga meraih global trust.
POSISI STRATEGIS
Secara fundamental, peran kehumasan adalah internal dan eksternal. Artinya, secara internal, program kehumasan perlu membangun trust dan nasionalisme agar kinerja positif tercipta pada rakyat Indonesia. Secara eksternal, program kehumasan secara strategis harus bisa membangun trust dari global communities. Perlu pemikiran dan program kehumasan yang strategis agar mampu menartikulasi visi-misi Presiden Jokowi. Perlu roadmap kehumasan yang strategis menuju Indonesia 2030.
Sebagai langkah awal, saya usulkan kita memulai dari internal publik dahulu. Artinya, dengan memahami peran strategis humas, maka setiap warga negara Indonesia sadar bahwa dirinya adalah humas bagi Bangsa Indonesia. Humas bagi brand Indonesia!
Dalam sambutan kepada Presiden pada November 2015 lalu, saya usulkan kepada beliau akan peran penting humas. Sehingga, jika sewaktu ada yang bertanya kepada Presiden, ada berapa jumlah humas di Indonesia saat ini? Bapak Presiden bisa berkata, “Di negara saya ada 255 juta humas! Seluruh rakyat Indonesia adalah humas bagi Indonesia!”
*) Agung Laksamana, Ketua Umum Perhimpunan Humas Indonesia (Perhumas)
http://koran.bisnis.