Adakah yang menyadari, selepas bertemu Menkopolhukam Wiranto, ada intonasi berbeda dari komunikasi publik seorang Habib Rizieq Sihab (HRS). Tepatnya dalam helatan 212 di Mesjid Istiqlal awal Februari lalu, terdapat beberapa hal menarik dicatat –sekaligus menunjukkan perubahan tersebut.
“Jangan sekali-kali maknai aksi kami sebagai aksi makar, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika.”
Berikutnya lebih ditekankan HRS, “[Ummat] Siap dukung dialog? Siap dukung komunikasi? Siap ciptakan kedamaian? Kita sudah bertemu Menkopolhukam Bapak Haji Wiranto. Beliau buka pintu dialog secara terhormat, mohon kita tindaklanjuti dengan menjaga persatuan NKRI. Tapi semangat jihad harus dijaga. [Yakni] Semangat revolusi damai. Revolusi akhlaq. Revolusi budi pekerti, dan revolusi prilaku.”
Bagaimana bisa seorang HRS, yang selalu dalam benak banyak orang itu selalu kontra pemerintahan, tetiba memunculkan idiom petahana terkait Revolusi Mental? Bagaimana posisi berseberangan selama ini, kemudian merekomendasikan ratusan ribu audiens yang hadir langsung (dan jadi jutaan dengan yang tak hadir langsung) agar mau membuka ruang dialog?
Itulah “kesaktian” komunikasi. Bahwa pertemuan face to face, bertukar pesan dan kata secara langsung, dalam kehangatan dan keakraban jarak dan waktu, serta spirit guyub masyarakat timur, bagaimanapun akan lebih efektif dan efisien dalam merekatkan banyak hal.
Ketika Presiden Jokowi relatif tak membuka ruang sebelumnya, dan kemudian diwakili Menkopolhukam Wiranto untuk bertemu HRS dan koleganya, maka nyatalah sudah tercipta “kesaktian” komunikasi lainnya yakni menyamakan persepsi yang sebelumnya bagai jarak bumi ke langit.
Bagaimana hasilnya? Sudah pasti, seperti dalam 212 tadi, rangkaian kata jadi lebih positif, lebih bermakna, dan menyejukkan situasi. Silahkan bandingkan dengan pidato dan pernyataan HRS sebelumnya dalam aksi sepanjang tahun 2016 –ketika pemerintah tak mengajak diskusi dan cenderung hanya buka pintu diskusi pada kelompok yang pro/netral/moderat.
Inilah efek dari Indonesia Bicara Baik. Sebuah konsep yang secara faktual dirilis pertama oleh Badan Pengurus Pusat Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat) di bawah komando Agung Laksamana. Sebuah ide yang kian menemukan relevansinya pada saat ini.
Sekilas, pendekatan yang diusung terlihat sekedar hasil akhir bahwa semua komunikator berusaha menjadi menyajikan konten baik. Namun sesungguhnya, penekanan Indonesia Bicara Baik justru dalam prosesnya yang tak mudah dan mau dilakukan semua pihak.
Ketika HRS dalam hasil akhirnya secara empirik bicara lebih baik dan sejuk pada momen 212, sesungguhnya ada proses terjal dan berliku karena pemerintah sebelumnya cenderung menutup ruang diskusi sebelum akhirnya dibuka oleh Menkopolhukam Wiranto.
Ketika gerakan Islam kita rasakan kian hari kian moderat, maka itulah buah dari kemauan membuka ruang untuk berkomunikasi dan membuka ruang komunikasi justru terutama dengan mereka yang kontra, tidak sehaluan, bahkan nyinyir.
Inisiatif Humas Indonesia
Indonesia Bicara Baik, terutama dalam proses membuka komunikasi dan diskusi tersebut, selayaknya menjadi spirit kita bersama dalam hari-hari kebangsaan yang belakangan ini terasa lebih sesak dan kental ragam perbedaan.
Ini pula yang membuat penulis dan kolega di Perhumas Indonesia berusaha aktif mengampanyekan hal ini, termasuk dalam Konvensi Nasional Humas (KNH) 2016 di Bandung, Oktober lalu dengan membuka ruang komunikasi para pihak.
Berkaca pada ilustrasi HRS di atas, sekaligus merujuk pada hasil KNH 2016 (baca: Kode Etik Kehumasan), terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan insan humas seluruh Indonesia agar bersama mengampanyekan sekaligus melakukan Indonesia Bicara Baik.
Pertama, menerapkan komitmen pribadi dengan berperan nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya membangun reputasi Indonesia melalui pembangunan komunikasi yang terbuka. Humas justru yang harus bisa membangun ruang diskusi dengan siapapun, terutama oponen kita.
Ini hanya bisa dicapai jika kita mampu meningkatkan potensi diri dan kualifikasi dalam menjalankan fungsi sebagai Humas. Tidak mungkin bisa menghadapi semua kalangan jika kemampuan nego dan persuasi kita juga masih terbatas, misalnya.
Kedua, menjaga prilaku komunikasi. Ini bisa dimulai dengan antara lain tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan martabat, klien, pimpinan dan lembaga, maupun mantan klien, mantan pimpinan, dan mantan lembaga.
Secara simultan, harus selalu berupaya mengupayakan terpeliharanya reputasi lembaga serta melayani kebutuhan informasi yang akurat dan jujur sesuai dengan Undang-undang keterbukaan informasi publik kepada klien, pimpinan, dan lembaga.
Ketiga, menjaga integritas komunikasi. Antara lain tidak melibatkan diri dalam tindak memanipulasi integritas media massa sebagai mitra kerja. Juga, tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan melalui media, sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
Termasuk dalam poin ini adalah tidak merusak dan mencemarkan reputasi sejawat dalam praktik profesinya.
Melaporkan kepada Dewan Kehormatan Perhumas Indonesia apabila ada sejawat yang melakukan tindakan tidak etis, melanggar hukum, atau tidak jujur, dan melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia, disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Sekaligus membantu dan berkerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi dan mematuhi Kode Etik Profesi Kehumasan ini.
Sebagai ujung tombak komunikasi di sektor apapun, humas adalah tumpuan dalam menciptakan iklim komunikasi yang lebih baik ke depannya. Sekeras apapun sikap seseorang, semua bisa diluruhkan dengan kesamaan persepsi via komunikasi. Insan humas, mari buat Indonesia Bicara Baik!
Oleh: Muhammad Sufyan