Jakarta, 15 Oktober 2020 – Memasuki tahun 2020, hubungan korporasi dengan stakeholder-nya semakin kompleks. Dari pandemi Covid-19, hingga stabilitas ekonomi politik, ketidakpastian terjadi di seluruh dunia. Sehingga menuntut Humas untuk proaktif dalam menjalankan pekerjaan, khususnya pada bidang Public Affairs.
Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) yang berkomitmen untuk terus memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan mengenai Hubungan Masyarakat kepada seluruh praktisi Humas di Indonesia, berkolaborasi dengan Public Affairs Forum Indonesia menyelenggarakan Webinar dengan topik “The Role of Public Affairs in a Changing World.”
Hadir sebagai narasumber kunci, Suryopratomo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, dan bersama Tony Wenas, CEO Freeport Indonesia; Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant Kiroyan Partners; Shinto Nugroho, Chief of Public Policy & Government Relations GO-JEK; Azi N. Alam, VP Public & Government Affairs ExxonMobil Indonesia; Agung Laksamana, Director Corporate Affairs APRIL Group sebagai narasumber. Menghadirkan sejumlah pakar bidang Public Affairs Indonesia, acara melalui daring tersebut dihadiri oleh praktisi Public Affairs di Indonesia dan dipandu oleh Marializia Hazni, sebagai moderator.
Masih segar dalam ingatan pada tahun 2005, dalam buku The World is Flat, Thomas Friedman, ketika itu dia memperkirakan dunia akan bergerak semakin cepat dan tanpa batas. Thomas mengatakan hal-hal inilah menjadikan setiap negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi negara maju.
Namun pada akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020, kehidupan masyarakat dunia berubah, Kota Wuhan dikunci untuk menekan penyebaran virus COVID-19. Meskipun pergerakan manusia terbatas saat itu, masyarakat tetap berpergian dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dari pegerakan manusia ini, virus tersebar semakin cepat, COVID-19 masuk ke berbagai belahan dunia, dari asia, eropa hingga amerika.
Kegiatan ekonomi juga ikut terganggu. Ekport import tersendat, global supply chain juga terputus. Akibatnya industri manufaktur sangat terpukul, puluhan juta orang mengalami kehilangan pekerjaan. Indonesia menghadapi hal yang sama, pada kuartal ke-2 kita mengalami kontraksi 5,2% dan kemungkinan kita akan memasuki resesi di kuartal ke-3.
“Ini menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama, ini adalah saatnya pemimpin tampil menjadi pemersatu. Pemerintah harus hadir memberikan harapan dan arahan bagaimana kita keluar dari situasi yang tidak mudah ini.” ungkap Suryopratomo. Sayangnya kita berjalan sendiri-sendiri. Kepentingan jangka pendek masuk ke dalam urusan penanganan pandemi menyulitkan kita. Informasi pada saat ini lebih banyak hoaks dan menyesatkan, sebagai contoh terkait Omnibus Law, padahal sebetulnya undang-undang ini mempermudah investasi.
Untuk memahami Public Affairs saat ini, kita perlu melihat sekilas ke belakang dan menatap ke depan, ini perlu dilakukan untuk menyamakan persepsi. Menurut Noke, “Public Affairs sebagai fungsi korporasi yang menangani masalah-masalah non-market, melalui serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memperkuat hubungan dengan para pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan konteks politik, sosial dan budaya.”
“Tanpa memahami konteks budaya, sosial dan politik kita tidak mungkin menjalankan fungsi Public Affairs dengan baik. Karena itu adalah kuncinya.” ungkap Noke
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan regulasi, sehingga Public Affairs sangat dibutuhkan. Public Affairs harus dilibatkan dalam setiap perencanaan projek perusahaan, mengingat begitu beragam pemangku kepentingan yang bersinggungan dengannya. Menurut Tony Wenas, dalam pendekatan dengan stakeholders, kita perlu menyiapkan ‘key messages’ atau pesan kunci. Pesan kunci ini perlu disesuaikan dengan pemangku kepentingannya.
Untuk menjawab tantangan membangun kemitraan dengan pemangku kepentingan dalam membangun kepercayaan, Tony menyarankan untuk mapping stakeholders terlebih dahulu. Setiap pemangku kepentingan memiliki pola pikir yang berbeda, hal ini harus menjadi perhatian khusus praktisi Public Affairs.
Bersinergi dengan pemerintah sangat penting untuk perusahaan. Dengan bersinergi bersama pemerintah, perubahan menuju kemajuan dapat dilakukan dengan cepat dan signifikan. Dan untuk menuju kearah kemajuan perlu mindset terbuka dari pemerintah. Empati terhadap kepentingan pemerintah membuat hubungan yang terbangun menjadi lebih baik karena saling memahami.
Shinto mengungkapkan, “sebenarnya pemerintah juga sudah banyak menyadari bahwa memang beberapa hal yang harus diubah. Misalnya perizinan dan pembatasan yang masih banyak berlaku di beberapa sektor ekonomi. Kemudian sumberdaya teknologi itu masih terbatas, dananya terbatas, infrastruktur perlu dibangun, serta talent-nya harus dipersiapkan.”
Public Affairs memang selalu melakukan lobbying, namun melalui lobbying kita dapat memahami apa yang menjadi perhatian dan kekhawatiran pemangku kepentingannya terkait kebijakan. Saling bersinergi dan bekerjasama dan mendorong pertumbuhan bersama.
“Peran Public Affairs menjadi semakin kritikal, karena tugasnya adalah menyatukan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama ditengah disrupsi saat ini.” ungkap Azi
Yang menjadi tantangan Public Affairs ke depan adalah transparansi, konektifitas, gangguan komunikasi, perubahan dan revisi. Menurut Agung saat ini tantangan Public Affairs adalah Hyper-Transparancy, kita semua berasumsi bahwa data perusahaan itu rahasia, ternyata tidak, sekalipun kita mempunyai keamanan yang baik masih kemungkinan mengalami kebocoran informasi. Keterbukaan informasi menjadi keinginan setiap stakeholders kepada perusahaan.
Kemudian konektifitas yang tidak terbatas juga menjadi tantangan, saat ini seluruh pemangku kepentingan terhubung dengan jaringan yang tidak terbatas. Narasi perusahaan perlu dibuat lebih luas dari konteks perusahaan, dari konteks hak asasi manusia, hingga lokal ke nasional, nasional ke global menjadi narasi yang perlu menjadi konten.
Gangguan komunikasi saat ini adalah ketika semua hal yang dikatakan akan menjadi ranah publik, hingga perusahaan perlu lebih hati-hati dalam berkomunikasi, kebanyakan krisis berasal dari internal perusahaan yang muncul dalam dunia digital. Saat ini semua orang adalah jurnalis, yang menyebarkan berbagai bentuk konten ke berbagai media sosial. Perusahaan ingin sudut pandangnya diterima khalayak, dengan berubahnya landscape media, narasi perusahaan menjadi sulit mendapatkan atensi.
Agung juga menyampaikan saran bagaimana cara mendorong keterlibatan di dalam era adaptasi kebiasaan baru dan disrupsi saat ini. “Adopt, mengadopsi kondisi situasi saat ini. Adapt, membuat strategi baru dan solusinya. Adept, menjadi seorang yang mahir terhadap bidangnya di era baru saat ini.” (FA)