Jakarta, Jumat, 24 April 2015, PERHUMAS Breakfast Forum hadir kembali dengan mengusung tema “Peluang Praktisi PR Indonesia dalam mengahadapi Masyarakan Ekonomi ASEAN (MEA)”. Forum yang membahas bagaimana kesiapan PR Indonesia dalam menghadapi MEA yang akan terlaksana dalam hitungan bulan ini menghadirkan pembicara dari berbagai sektor yang berbeda yaitu Prof. Firmanzah, Ph.D – Rektor Universitas Paramadina, Intan Abdams Katoppo – CEO PT. Hotel Indonesia Natour, Arif Budisusilo – Pemimpin redaksi Bisnis Indonesia, dan moderator pada forum kali ini Boy Kelana – Deputy Head of PR PT. Astra International, Tbk. Bertempat di Atanaya 2, Century Park Hotel, Forum ini dihadiri oleh 50 peserta dari praktisi dan konsultasi PR, Akademisi, pemimpin perusahaan, tokoh masyarakat, serta media massa.
Menurut Agung Laksamana, Ketua Umum PERHUMAS, saat memberikan sambutan menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam menghadapi MEA sebab, yang mengerti pasar Indonesia adalah orang Indonesia sendiri. Selain itu ada tiga hal dalam menghadapi MEA pertama adalah Indonesia adalah magnet ASEAN, kedua PR harus lebih inovatif dan kreatif serta yang ketiga increase level of confidence.
Arif Budisusilo, Pemimpin redaksi Bisnis Indonesia mengatakan sosialisasi MEA 2015 di Indonesia memang terbilang minim jika dibandingkan negara Asean lainnya, seperti Thailand. “Mereka bukan hanya memberi tahu apa dampak dari MEA, namun juga bagaimana cara menyikapinya. Saya mengakui bahwa media di Indonesia terbilang minim dalam memberitakan MEA ini,” kata Arief.
Kondisi ini tidak terlepas dari lanskap bisnis media di Indonesia yang berubah. Saat ini, media online khususnya, sangat bergantung kepada klik dan traffic. “Traffic telah menjadi dewa. Sehingga, media kerap membuat berita dan judul yang sensasional guna menarik pembaca,” kata Arief.
Di tengah era globalisasi seperti sekarang ini, banyak perusahaan di Indonesia yang mulai melakukan ekspansi ke luar negeri. Misalnya saja Grup Lippo, Grup Ciputra, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebenarnya ini bisa menjadi peluang bagi praktisi PR di Indonesia untuk go internasional.
Firmanzah, Rektor Universitas Paramadia menambahkan, kompetisi memang menjadi perbincangan yang lebih hangat ketimbang coopetition atau collaboration. Hal ini pula yang terdapat pada MEA 2015. “Banyak yang khawatir dengan masalah kompetisi. Padahal di dalam MEA justru terdapat kesempatan bagi kita untuk melakukan kolaborasi dan koopetisi,” katanya.
Dengan kolaborasi yang apik, tentunya PR di Indonesia bisa menjajal pasar di luar negeri. Firmanzah pun memberikan kuadran terkait peta persaingan PR berdasarkan asal dan tujuan. Yaitu PR dari Indonesia yang menyasar pasar Indonesia, PR dari luar negeri yang menyasar pasar luar negeri, PR dari Indonesia yang menyasar luar negeri, dan PR dari luar negeri yang menyasar pasar Indonesia. “Banyak yang khawatir bahwa PR dari luar negeri akan masuk ke Indonesia. Padahal Indonesia adalah pasar yang sangat luas. Tentunya bukan hal yang mudah,” kata Firmanzah.
Bicara mengenai persaingan, Firmanzah menambahkan bahwa kekhawatiran persaingan pada MEA 2015 bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara Asean lainnya. Sebaliknya, mereka sangat khawatir dengan serbuan produk dan jasa dari Indonesia. “Indonesia adalah negara yang kuat perekonomiannya. Mereka mengistilahkan Indonesia sebagai the sleeping giant,” katanya.
Sedangkan Intan Abdams Katoppo, CEO PT Hotel Indonesia Natour mengatakan bahwa industri perhotelan di Indonesia sebenarnya telah siap dalam menghadapi MEA 2015 ini. “Selama dua hingga tahun terakhir ini, industri perhotelan di Indonesia sudah siap menyambut MEA. Meski begitu, peningkatan servis harus tetap dilakukan,” katanya.
Kesiapan dalam menghadapi MEA tentunya memerlukan peran aktif dari praktisi Public Relations, yang didukung peningkatan kerjasama pengembangan kompetensi dan profesionalisme kehumasan. Selain itu perlunya memahami produk yang akan dijual, memperbanyak konten lokal dengan penguatan karakter atau jati diri serta perlunya bersinergi antara PR dan media.